Fitrah Manusia dan Pendidikan Islam
(Perspektif Filsafat Pendidikan Islam)
Oleh : Agus Burhan
Abstrak
Tulisan
ini menjelaskan tentang fithrah manusia. Apakah fithrah manusia itu baik
atau jahat? Disebut fithrahnya itu baik, faktanya banyak manusia yang jahat,
dan sebaliknya dibilang fithrahnya jahat, tidak sedikit manusia yang baik.
Pendidikan dalam Islam sebagai lahan untuk menyemai bibit unggul fithrah agar
manusia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesuai dengan fithrahnya.
Pendahuluan
Allah Swt menciptakan manusia dalam keadaan yang paripurna. “Sesungguhnya kami Telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At Tiin : 4) .Modal manusia ketika dilahirkan ke dunia seluruhnya sama yaitu
tidak mengetahui sesuatu apapun, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (Q.S. An Nahl : 78). Dan seluruh manusia dilahirkan
diatas fitrahnya. “Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya, ibu bapaknyalah yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi[1]. Allah
Swt menciptakan manusia tidak untuk main-main, tetapi ada maksud dan tujuanya.
“ Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara
main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. Al
Mu’minun : 115). Manusia mengemban tugas mengabdi kepada Allah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariat : 56), dan fungsinya sebagai khalifah
fil ard.
Manusia diciptakan
oleh Allah swt. selain sebagai hamba juga sebagai penguasa (khalifah) di
atas bumi. Sebagai hamba dan khalifah, manusia telah dibekali kemampuan
jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) yang dapat
ditumbuhkembangkan seoptimal mungkin, sehingga menjadi alat yang berdaya guna
untuk menjalankan tugas pokoknya di atas dunia ini. Namun proses menumbuh
kembangkan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan
terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik sesuai kehendak
pencipta-Nya, karena Allah telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia
terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fisik yang menyimpang
dari peraturan dan ke arah ketakwaan yaitu menaati peraturan atau perintah
Allah swt.[2]
Tugas Manusia
sebagai hamba Allah (‘abd Allah), dituntut
untuk mengabdi secara totalitas kepada Allah SWT. dengan penuh keikhlasan.
Islam menggariskan bahwa seluruh akifitas seorang hamba selama ia hidup di alam
semesta ini harus bernilai ibadah, ditujukan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan redho-Nya[3].
Musa Asy’arie[4]
mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan
yang kesemuanya itu hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan
pada kodrat alamiah yang senantiasa belaku bagi-Nya. Ia terikat oleh hukum-hukum
Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari
setiap ciptaa-Nya, ia tergantung pada sesamanya, hidup dan matinya menjadi
bagian dari segala yang hidup dan mati. Sebagai hamba Allah manusia tidak bias
terlepas dari kekuasaan-Nya, karena manusia mempunyai fitrah (potensi) bergama.
Yang mengakui adanya kekuatan diluar dirinya.
Pengakuan manusia akan adanya Tuhan secara naluriah menurut Al-
Qur’an disebabkan karena telah terjadi dialog antara Allah dan roh manusia tak
kala ia berada di alam arwah. Dengan demikian kepercayaan dan ketergantungan
manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahan dari kehidupan manusia itu
sendiri. Karena manusia telah berikrar sejak alam mitsak bahwa Allah SWT.
adalah Tuhanya.
Dan manusia
sebagai khalifah Allah fi al-ardh. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia
diciptakan Allah sebagai pengemban amanat. Diantara amanat yang dibebankan
kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi. Karena amat mulianya manusia
mengeban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di
muka bumi. Salah satu aplikasi dari kekhalifahan manusia di muka bumi adalah
pentingnya kemampuan untuk memahami alam semesta tempat ia hidup dan
menjalankan tugasnya. Tanggung jawab moral manusia untuk mengelola dan
memmfaatkan seluruh sumber yang tersedia di alam ini untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai Khalifah Allah
yang hanya tunduk kepada-Nya dan tidak akan tunduk kepada alam semesta[5].
Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses
pemanusiaan manusia
(humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek (individu) secara
normatif berkembang lebih baik. Upaya
membantu manusia
berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia.
Sebab, tanpa pemahaman yang benar
tentang apa, siapa, mengapa, dan untuk apa manusia, maka pendidikan akan gagal
mewujudkan manusia
yang dicita-citakan. Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat
manusia
dengan segala potensi yang dimilikinya, agar manusia tidak
keluar dari fitrah kemanusiaannya.
Fitrah Manusia
Kata
( فطرة
) diambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Kemudian ditambahkan
bahwa fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali tanpa ada contoh
sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami
dalam arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir. Para ulama berbeda pendapat
tentang maksud kata fitrah pada ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah
yang dimaksud
adalah keyakinan tentang keesaan
Allah swt, yang
ditanamkan Allah dalam diri setiap insan.[6]
Al-Biqa’I
tidak membatasi arti fitrah pada keyakinan tentang keesaan Allah swt.
Menurutnya, yang dimaksud dengan fitrah adalah ciptaan pertama dan tabiat awal
yang Allah ciptakan manusia atas dasarnya. Al-Biqa’I kemudian mengutip pendapat
Imam al-Ghazali yang menulis dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din bahwa “ Setiap
manusia telah diciptakan atas dasar keimanan kepada Allah bahkan atas potensi
mengetahui persoalan-persoalan sebagaimana adanya, yakni bagaikan tercakup
dalam dirinya karena adanya potensi pengetahuan.” Al-Biqa’I kemudian
menjelaskan maksud al-Ghazali itu bahwa yang dimaksud adalah kemudahan mematuhi
perintah Allah serta keluhuran budi pekerti yang merupakan cerminan dari fitrah
Islam.[7]
Dengan demikian yang dimaksud dengan fitrah adalah penerimaan kebenaran dan
kemantapan mereka dalam penerimaannya.
Kata Fitrah terulang sebanyak 28 kali dalam al Qur’an di surat dan
ayat yang berbeda, 14 kali diantaranya berbicara tentang penciptaan manusia[8].
Menurut Tedi Priatna[9],
fitrah mengandung pengertian asal kejadian, kesucian, dan agama yang benar. pengertian dalam konteks penciptaan manusia
baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian
tentang fitrah manusia. Seperti yang tersurat dalam Surat
Ar-Rum ayat 30:
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”2 (Q.S. Ar-Rum:
30)
Abdul Mujib Muhaimin[10],
menjelaskan pemaknaan fitrah, yaitu ; Pertama, Fitrah yang berarti suci
(thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah Islam (dienul
Islam), pemaknaan tersebut menunjukan bahwa tujuan diciptakanya manusia
adalah penyerahan diri kepada sang pencipta, tanpa beragama Islam berarti telah
keluar dari fitrahnya. Ketiga, Fitrah mengakui keesaan Allah (at-tauhid),
manusia semenja lahir membawa potensi tauhid. yaitu kecenderungan manusia untuk
meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
Keempat, Fitrah selamat (al salamah), fitrah secara potensial berati
keselamatan dalam proses penciptaan, watak dan strukturnya. Iman dan kufurnya
baru tumbuh setelah manusia mencapai aqil balig. Kelima, Fitrah
kesanggupan atau predisposisi untuk menerima kebenaran. Secara fitriah manusia
lahir cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran, walaupun pencarian itu
masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang paling dalam. Adakalanya manusia
telah menemukan kebenaran, karena ada faktor ektrnal yang mempengryhunya, maka
ia berpaling dari kebenaran. Keenam, Fitrah ikhlas. Manusia lahir membawa
sifat-sifat yang baik, diantara sifat itu adalah ketulusan dan kemurnian dalam
melakukan kreasi. Pemaknaan tulus ini merupakan konsekwensi fitrah manusia yang
harus menjemput agama tauhid. Dengan bertauhid berati seseorang telah
menghambakan diri kepada dzat yang mutlak Allah Yang aha kuasa sekaligus
menghilangkan segala dominasi yang temporal atau nisbi. Ketujuah, Fitrah dasar manusia untuk beribadah dan
ma’rifatullah. (mengenal Alah). Dalam pemaknaan ini, aktivitas manusia dan pengenalan
manusia kepada Allah merupakan tolak ukur dan indikator pemaknaan kefitrahanya.
Dan kedelapan, Fitrah tabiat alami yang dimiliki manusia (human
nature). Watak atau tabiat merupakan daya dari daya nafs kulliyun yang
menggerakan jasad manusia. Bedanya fitrah manusia pasti sama mempunyai potensi
bertauhid, sedangkan tabiat merupakan sesuatu yang ditantukan Allah melalui
ilmunya.
Dari
gambaran tersebut dapat dipahami bahwa manusia memiliki citra baik, dan
menunjukan superioritas manusia dibanding dengan malaikat. Kalau malaikat
terstruktur sebagai makhluk yang baik, melakukan pekerjaanya sesuai dengan yang
ditugaskan Allah kepadanya. “...
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan” (QS. At Tahrim : 6). Berbeda dengan manusia yang diberi potensi “ fitrah sebagai bibit
unggul”. Persoalanya, Apakah fitrah sebagai bibit unggul tersebut akan “ditanam” di tanah pendidikan Islam yang
subur, sehingga bibit fitrah tersebut akan tumbuh menjadi baik sesuai kehendak
yang memberi-Nya? Ataukah bibit unggul fitrah tersebut mau ditanam di tanah
yang gersang, sehingga sekalipun bibitnya unggul, tapi jika ditanam di tanah
yang tandus, maka tidak akan tubuh dengan baik. Wujudnya manusia, tapi
keberadaanya lebih sesat dari pada binatang[11].
Pendidikan
Islam
Pengertian
pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan
konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami
secara bersama-sama, sekalipun ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan
ketiga istilah tersebut[12].
Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan
masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling
berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang
lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal
Kata at-Tarbiyah adalah
bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai
pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah
yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun,
rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua
fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda[13].
Pertama, Menurut al-Qurtubi,
bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha
pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan[14].
Kedua, Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan,
pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan[15]. Ketiga, Menurut
Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah,
yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan
perkembangan)[16]. Keempat, al-Jauhari
yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan
memberi makan, memelihara dan mengasuh[17]. Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka
kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki,
menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan
berarti pula mendidik.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim,
para fakar memberikan
pengertian diantaranya,
Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai
proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan
penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala
kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan
untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang
tidak diketahuinya . At-ta’lim menyangkut aspek pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku
yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus
diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui
apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya
untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan[18]. Munurut
Rasyid Ridho[19], at-ta’lim adalah
proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya
batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah
al-Baqarah: 31
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang
yang benar!”
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah
kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap
sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah
kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih
luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang
khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi,
anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus
pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak[20].
Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan
dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan
dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat
segala sesuatu dalam sebuah sistem[21]. Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan
at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah,
karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi
eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education,
yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi
sumbernya bukan dari wahyu.
Sementara
pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk
digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh
Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam
tatanan wujud dan keberadaanya .
Selanjutnya
term ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ sebagaimana
dinyatakan dalam hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian
menjadikan pendidikanku yang terbaik”[22]
Pendapat
Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat
diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan
at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan
mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakup
keseluruhan aspek-aspek pendidikan[23].
Hasan
Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi
muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang
diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat. Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian
pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah
mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah
air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan
rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang
Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Sedangkan menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri
manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada
manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.
Dari definisi dan
pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses,
kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang
secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.
Jadi definisi
pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempattempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi
pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian
Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu
adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa
yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan
pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan
tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal
haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.
Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan
sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya,
maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran
tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak
sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.
Tujuan pendidikan islam
Tujuan
pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah
mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup,
selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi
sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka
tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun
rumusan tujuan pendidikan Islam menurut beberapa pakarnya, diantaranya : Ahmad D
Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identik dengan tujuan hidup orang
muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah.
Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya[24]. Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah
manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu,
masyarakat dan kemanusiaan pada umunya”[25]
Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of
Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan
tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan
jiwa)[26]” Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk
manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua
banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat,
disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”[27].
Muhammad
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa pendidikan budi pekerti/akhlak adalah
jiwa dari pendidikan Islam dan mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan
sebenarnya dari pendidikan Islam dengan tidak mengabaikan pendidikan jasmani,
ilmu atau segi-segi praktis lainnya. Artinya bahwa pendidikan akhlak harus
seimbang dengan pendidikan lainnya. Pendidikan akhlak menurutnya adalah sama
dengan menanamkan fadhilah (keutamaan), membiasakan sopan santun demi
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan
jujur. [28]
Dalam pandangan al-Gazali,
sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman mengatakan bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak,
demikian pula fadhilah
(keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan penting dalam
pendidikan.[29] Selanjutnya al-Gazali menegaskan
bahwa hendaknya seorang pendidik mengarahkan anak didiknya kepada tujuan
mempelajari ilmu adalah taqarrub kepada Allah swt. bukannya mengarah
kepada pimpinan dan kemegahan.[30]
Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa pada dasarnya manusia cenderung ke arah yang baik sesuai dengan
fitrah dan akal sehat yang dimiliki. maka tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang
sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
Fitrah Manusia dan Pendidikan Islam
Konon, sebelum penciptaannya
manusia pernah bersaksi kepada Allah Swt. bahwa Dia adalah Tuhan mereka
(Al-A’raf:172). Janji ini menjadi fitrah manusia, bahwasanya ketika jiwa mereka
ditiupkan dalam rahim dan lahir ke dunia ini, mereka dalam keadaan patuh dan
tunduk kepada Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan ketaataan mereka terhadap
aturan kosmos Allah SWT. Baru setelah mereka berintekrasi dengan ayah bunda
serta lingkungan, mereka tersilap dari kesaksian yang mereka berikan dahulu.
Akhirnya melencenglah mereka dari fitrah penciptaan. Begitu kata Rasullullah
SAW dalam haditsnya. Fitrah
yang dimiliki oleh setiap manusia memiliki kebutuhan. Menurut Zakiyah Drajat
ada dua kebutuhan peserta didik[31]
yaitu:
- Kebutuhan psikis yaitu kebutuhan akan kasih
sayang, rasa aman, rasa harga diri, bebas, mengenal, dan rasa sukses
- Kebutuhan fisik yaitu pemenuhan sandang, pangan,
papan, dan pangan.
Dalam pendidikan berupaya mengembangkan dan
memenuhi kebutuahn tersebut secara integral agar berkembang.
Ada tiga alasan
penyebab awal kenapa manusia memerlukan pendidikan, yaitu: pertama,
dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai kebudayaan antara
generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai hidup masyarakat
tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai
intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam
kehidupan manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan untuk dapat
mengembnagkan potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin. Untuk
maksud tersebut, manusia perlu suatu sarana. Saran itu adalah pendidikan.
Ketiga, konvergensi dari kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya
adalah lewat pendidikan[32].
Para ahli
pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan
Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Ada dua implikasi penting
dalam hubungannya dengan pendidikan Islam[33],
yaitu:
1.
Karena
manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan
immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu kearah
realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam
harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah
dan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara
intelektual dan terpuji secara moral.
- Al-quran menjelakan bahwa fungsi penciptaan
manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan
tugas ini Allah membekali dengan seperagkat potensi. Dalam konteks ini,
maka pendidikan harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan
potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan
dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang
bermamfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi
fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.
Kedua hal di
atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem
pedidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi pendidikan Islam
dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat
Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat penciptaan manusia dan
fungsi
penciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk menjawab hal itu, maka
pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses
transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai khalifah
dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan
ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan
taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.
Agar
pendidikan umat berhasil dalam prosesnya, maka konsep penciptaan manusia dan
fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam
perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik
keilmuwan dan rasional filosofis. Yang harus dipahami bahwa pendekatan
keilmuwan dan filosofis hanyalah sebuah media untuk menalar pesan-pesan Tuhan,
baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (Qur’aniyah), maupun ayat-ayat-Nya
yang bersifat kontekstual (kauniyah) yang telah dijabarkan-Nya melalui
sunnatullah.
Dalam
buku lain ditemukan bahwa pendidikan merupakan gejala dan kebutuhan manusia. Dalam
artian bahwa bilamana anak tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan
menjadi manusia sesungguhnya, dalam artian tidak sempurna hidupnya dan tidak
akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan
kehidupannya. Hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan dan
membudayakan manusia[34].
Untuk mengembangkan potensi atau kemampuan
dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk
membimbing, mendorong, dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat
bertumbuh dan berkembang secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya
kelak dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan
bagi manusia, ada tiga aliran yang sangat populer, yakni aliran Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi.
Doktrin
aliran empirisme yang amat masyhur adalah “Tabula Rasa,” sebuah istilah
bahasa latin yang berarti batu tulis atau lembaran kosong. Tabula rasa
menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan. Artinya
perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman
pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada
pengaruhnya. Aliran empirisme dengan tokoh utamanya adalah John Locke
(1632-1704). Aliran ini berpendapat jika seorang peserta didik memperoleh
kesempatan yang memadai untuk belajar
ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi, karena ia memiliki
pengalaman belajar di bidang politik. Dia tidak akan pernah menjadi pemusik,
walaupun orang tuanya pemusik sejati.[35]
Suatu
prinsip yang dikemukakan oleh John Locke sebagai konsekuensi dari teorinya
tentang tabula rasa adalah bahwa setiap tingkah laku pada dasarnya dipelajari.
Karena itu tingkah laku dapat diubah melalui pengalaman baru.
Dengan
demikian jelaslah pandangan empirisme bahwa pendidikan dan perkembangan anak
ditentukan oleh faktor lingkungan, baik melalui pengalaman yang diperolehnya
dengan bebas maupun melalui program pendidikan.
Kebalikan
dari aliran empirisme adalah aliran Nativisme berpandangan bahwa yang paling
berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan. Jika
seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik maka
dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.[36] Tokoh utama
aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman.
Ia menganut aliran filsafat nativisme, dikenal juga dengan aliran pesimistis
yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Karena penganut aliran
ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya,
sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh sama sekali.[37]
Berdasarkan
pandangan tersebut di atas maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh peserta
didik sendiri. Bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada artinya, sebab lingkungan
tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Perkembangan anak merupakan
hasil perubahan dari sifat-sifat pembawaan itu sendiri. Secara ekstrem dapat
dikatakan bahwa paham ini tidak mempercayai pengaruh pendidikan terhadap
perkembangan anak.
Sedangkan
aliran konvergensi berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah
disertai dengan pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam proses
perkembangannya faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama mempunyai
peranan yang sangat penting. Tokoh utamanya adalah William Stern
(1871-1938). Dia mengatakan bahwa bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan
perkembangan bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak akan menghasilkan
perkembangan anak yang optimal kalau pada diri anak tidak terdapat bakat yang
diperlukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan anak yang diharapkan.
William Stern berkesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari
pembawaan dan lingkungan.[38]
Dalam
menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, William Stern dan
para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan atau pengalaman,
juga tidak berpegang hanya pada pembawaan tetapi berpegang pada kedua faktor
tersebut sama pentingnya. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa
faktor pengalaman. Demikian pula sebalikya, faktor pengalaman tanpa faktor
bakat atau pembawaan
tidak akan mampu mengembangkan manusia sesuai yang diharapkan.[39]
Untuk
lebih kongkritnya dapat diambil sebuah contoh seorang anak yang normal pasti
memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya, tetapi apabila anak
tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya dibuang ke
hutan belantara dan tinggal bersama hewan maka bakat yang ia miliki secara
turun-temurun dari orang tuanya akan sulit terwujud. Jika ia hidup bersama
sekelompok serigala maka ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia
akan berjalan dengan merangkak seperti Serigala. Jadi bakat dan pembawaan tidak
berpengaruh kalau lingkungan tidak mengembangkannya.[40]
Pandangan
Islam lebih bercorak konvergensi daripada empiris dan nativis, karena mengakui
adanya pengaruh internal berupa keimanan dalam diri dan pengaruh eksternal yang
berupa kegiatan sosial dalam bermasyarakat.[41]
Konsep
fitrah memilki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan pada landasan
al-Tauhid. Apa saja yang dipelajari oleh anak hendaknya tidak bertentangan
dengan konsep al-Tauhid. Sebab al-Tauhid merupakan inti semua ajaran agama
yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Oleh karena itu, kurikulum
pendidikan Islam hendaknya berisikan nilai-nilai keislaman yang pada
akhirnya mengarah pada konsep al-Tauhid ini.
Selain itu, firah manusia juga mempunyai
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain
sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka
mengaktualisasikan fitrah manusia[42].
Potensi dasar fitrah manusia harus
ditumbuh
kembangkan secara optimal
dan terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat.
Manusia diberi
kebebasan untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar fitrah
yang
dimilikinya. Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bias dilepaskan
dari adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum tertentu
yang menguasai alam, hukum-hukum yang menguasai benda-benda maupun
manusia, yang tidak tunduk dan tidak tergantung pada kemauan manusia.
Disamping itu, pertumbuhan dan perkembangan potensi dasar fitrah manusia juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas, lingkungan alam dan geografis,
lingkungan sosio kultural dan sejarah. Oleh karena itu maka minat, bakat dan
kemampuan skill dan sikap manusia yang diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya
dan hasil yang dicapinya bermacam-macam[43].
Proses
kependikan yang terjadi pada manusia menurut ajaran Islam dipandang sebagai
perkembangan alamiah pada diri manusia yang sudah ditetapkan oleh Allah
berdasarkan sunnatullah. Proses
kependidikan yang ada pada akhirnya diharapkan mampu membina kepribadian
manusia, baik demi ultimate goal maupun
tujuan-tujuan yang terdekat. Tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan
pribadi yang didasarkan pada asas
self-realisasi, yakni merealisasikan potensi-potensi yang sudah ada pada
diri manusia baik berupa potensi moral, keterampilan maupun perkembangan
jasmani[44].
Pendidikan
memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan potensi fitrah
manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat
memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap menjalankan risalah yang
dibebankan kepadanya yakni “khalifah fil ardl”. Oleh karena
itu, pendidikan berarti merupakan suatu proses membina seluruh
potensi manusia sebagai: makhluk yang beriman, berpikir dan berkarya untuk
kemaslahatan diri dan lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti
menyelenggarakan proses pendidikan yang membentuk kepribadian peserta
didik agar sesuai dengan fitrahnya.
Memberdayakan potensi fitrah manusia
haruslah berkesesuaian dengan
nilai-nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni
nilai-nilai robbani yang bersumber kepada Rab yang menciptakan manusia itu
sendiri, sebagai zat
yang maha mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan
mengacu
pada nilai-nilai tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan
niscaya
akan memperhatikan azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yang melekat erat
sebagai sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkembanga manusia,
juga memperhatikan situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan
kehidupan kelak.Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas
tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi
fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai
kebenaran dan kebajikan agar
ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (Qs.
As-Syams: 8, Adz-Zariyat:
56), yang siap menjalankan risalah yang dibebankan
kepadanya sebagai
khalifah di muka bumi (Qs..(2): 30: (33): 72). Oleh karena itu,
pendidikan
merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman
dan bertakwa, berpikir dan berkarya, sehat, kuat, dan berketerampilan
tinggi untuk kemaslahatan diri, masyarakat, dan lingkungannya.
Fitrah manusia merupakan potensi
dasar perkembangan manusia yang dibawa sejak lahir dan merupakan pusat dasar
segala tindakan, yang berkembang secara menyeluruh dan bersifat
dinamis-responsif setiap perkembangan lingkungan, menempatkan fitrah pada
posisi sentral dalam memanusiakan manusia.
Kesimpulan
Setiap manusia dilahirkan diatas
fitrahnya. Fitrah manusia yang di bawa sejak lahir laksana “bibit unggul”.
Ibarat tanaman, sekalipun bibitnya unggul, tapi jika di semai atau di tanam di
tanah yang gersang dan tandus, maka tidak akan tumbuh dan berkembang
sebagaimana yang diharapkan. Dan sebaliknya, jika bibit unggul tersebut di
semai atau di tanam di tanah yang subur, di pupuk, dirawat sebagai mana
mestinya, maka akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Fitrah adalah bibit
unggul, pendidikan Islam adalah tanah yang subur. Tidak berlebihan jika
Pendidikan Islam dapat Mengembalikan Manusia pada Fitrahnya, karena fitrahnya
di semai, di pupuk, di rawat dan dibesarkan di tanah pendidikan Islam yang
subur, sehingga hasilnya bisa memanusiakan manusia.
Daftar Pustaka
Abdul Fattah
Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub
Misriyah. 1977)
Al-Rasyidin,
Samsul Nizar , Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis
dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Press, 2005) , hal:
19
Ahmad
Nurwajah, Tafsir Tarbawi, Hati yang Selamat Higga Kisah Luqman, (Bandung
: Marja, 2007)
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
(Bandung, Al-Ma’arif.1989)
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj;
Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry) (Jakarta, Bulan Bintang. 1998)
Ali Ashraf , Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum).
(Jakarta, Pustaka Firdaus. 1989).
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
(Bandung, Rosda Karya., 1992).
An Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung,
Mizan, 1988),
Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir
al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15
.
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah.(Maktabah Syamilah).
Muzayyin
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2005).
Zuhairini. Metodik pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah
Sunan Ampel Press. 1950).
Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar. (Maktabah
waqfiyah)
Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan
Islam. (Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986).
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan
Islam (Cet. VII; Jakarta: Bulan
Bintang, 1993).
M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Cet. III) (Bandung: Mizan, 1996).
Muhaimin,
Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993).
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Gazali (Cet. I; Jakarta: P3M, 1986).
Samsul
Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan
Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama: 2001)
Abuddin Nata, Akhlak
.
Muhibbin
Syah, Perkembangan Pendidikan. (Bandung: Rosdakarya,
2005).
Tedi
Priatna, Reaktualisasi Paradigma
Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah
di Indonesia, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[1]
H.R. Muslim. No.
[3] Al-Rasyidin
& H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Praktis, : (Jakarta : Ciputat Press, 2005), hal: 19
[4] Musa Asy’ari,
[5] Al-Rasyidin
& H. Samsul Nizar, opcit, hal: 17-18
[6] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Cet. III) (Bandung: Mizan, 1996), hal. 283-284
[7] Ibid.
[8] Ahmad Nurwajah,
Tafsir Tarbawi, Hati Yang Selamat Hingga Kisah Luqman, (Bandung : Marja
: 2007), hal. 86.
[9]Tedi
Priatna, Reaktualisasi Paradigma
Pendidikan Islam, Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiyah dan Insaniah
di Indonesia, (Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, 2004), hal. 95-96.
[10] Abdul Mujib
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya,(Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 13-19
[11] Lihat Q.S. al
A’raf : 179.
[14] Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari
al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt), hal. 15.
[18] Abdul
Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul
Kutub Misriyah. 1977), hal. 32
[19]
Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar. (Mesir, Dar al-Manar, 1373 H), hal.
42
[20] Ibid,
hal. 42.
[23]
al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah, terj; Bustami
A.Goni, dan Djohar Bakry, (Jakarta, Bulan Bintang. 1998), hal. 32
[24] Ahmad
D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung,
Al-Ma’arif.1989), hal. 33
[25] Ali
Ashraf , Horison Baru Pendidikan (Islam dan Umum). (Jakarta,
Pustaka Firdaus. 1989), hal. 29..
[26]
Al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah wal Falsafatuha,
(Mesir, Isa al-Baby al-Halaby.Qahirah, 1969), hal. 11
[27]
Syahminan Zaini. Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam.
(Jakarta, Pustaka al-Husna. 1986), hal. 19
[30]Sebab-sebab
yang mendorong al-Gazali sangat memperhatikan keagamaan ialah karena pada waktu
itu kerusakan akhlak orang banyak telah merajalela (yang ditimbulkan oleh
gerakan yang merusak) agama seperti gerakan yang dipimpin oleh Al-Hasan bin
Shabah. Al-Hasan Shabah adalah orang yang memimpin sekte ismailiyah yang
pandangan filsafatnya diambil dari Neo-Platonisme. Ia dan pengikutnya
menggunakan cara-cara kekerasan dan intimidasi yang mengakibatkan timbulnya
kekejaman yang dikenal dengan Hassyayin yakni orang-orang yang meminum
hasyis atau daun ganja yang memabukkan. Lihat Ali al-Jumbulati Abdul Futuh
at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaranatun Fi Tarbiyatil Islamiyah,
diterjemahkan oleh M. Arifin dengan judul Perbandingan Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002),
hal. 134.
[31]
Samsul Nizar, 2001, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan
Islam, Gaya Media Pratama: Jakarta, hal: 135-138
[32]
Samsul Nizar, hal: 85
[34] Dra. Zuhairini, dkk., opcit, hal: 92-95
[44] Mohammad Noor
Syam, ibid, hal. 179
0 Response to "Fitrah Manusia dan Pendidikan Islam"
Posting Komentar